Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
Sedangkan nilai kredit macet kotornya (NPL gross) mencapai Rp 11,00 triliun atau setara 10,37% dari total kredit.
Rasio kredit macet BPR ini tercatat terus merangkak tiap tahunnya. Tercatat NPL gross pada 2015 sebesar 5,37%, 2016 sebesar 5,83%, 2017 sebesar 6,15%, dan 2018 sebesar 6,37%.
“Penyebab tingginya NPL BPR secara umum, karena usaha debitur yang mengalami kendala sehingga gagal bayar. Atau bisa juga sengaja dimacetkan karena debitur ambil kredit dari Tekfin,” lanjut Mansu.
Baca Juga: KSSK: Stabilitas sistem keuangan kuartal III 2019 terkendali
Meskipun bakal menghadapi tantangan serius, Mansu masih optimistis BPR masih punya nilai tambah. Khususnya soal jangkauan terhadap calon debitur yang lebih dalam yang bisa hadir di level RT/RW dibandingkan bank umum.
BPR Hastamitra pun masih mencatat kinerja yang mumpuni. Per September 2019 peresroan berhasil menyalurkan kredit senilai Rp 2,15 triliun dengan pertumbuhan 11,22% (yoy). Pertumbuhan kredit ini juga turut mendongkrak nilai aset perseroan menjadi Rp 2,47 triliun dengan pertumbuhan 13,12% (yoy).
Selain bekal kedekatan dengan calon debitur, Direktur PT BPR Supra Artapersada Andi Gunawan menambahkan agar tetap dapat bersaing, penurunan suku bunga KUR mau tak mamu memang bakal bikin BPR menekan suku bunga pinjamannya.
Baca Juga: OJK dorong merger Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Cirebon
“KUR memang tantangan berat buat BPR, selain mengandalkan kedekatan dengan debitur dan meningkatkan kecepatan dan proses kredit, salah satu strategi yang bisa ditempuh adalah dengan menurunkan suku bunga pinjaman,” katanya kepada Kontan.co.id.
Per September 2019, BPR Supra juga sejatinya mencatat kinerja yang baik. Pertumbuhan kredit perseroan tumbuh 13,59% (yoy) menjadi Rp 621,47 miliar. Sedangkan nilai asetnya tumbuh 12,48% (yoy).