Reporter: Aulia Ivanka Rahmana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai Indonesia membutuhkan program asuransi wajib bencana seiring tingginya eksposur risiko bencana alam.
Wacana tersebut mendapat respons dari pelaku industri asuransi, baik BUMN maupun perusahaan swasta.
Pembahasan ini mengemuka mengingat Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Sepanjang 2025, sejumlah bencana alam tercatat terjadi, di antaranya banjir besar di Bali dan Sumatra.
Baca Juga: Ini Beberapa Faktor yang Pengaruhi Minat Modal Ventura Mendanai Fintech
OJK menegaskan, ketentuan mengenai asuransi wajib bencana alam telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) menilai penerapan asuransi wajib bencana dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat perlindungan aset masyarakat.
Saat ini, masih banyak rumah tinggal, usaha kecil, dan aset produktif di wilayah rawan bencana yang belum memiliki perlindungan asuransi, sehingga seluruh kerugian harus ditanggung secara mandiri.
Sekretaris Perusahaan Asuransi Jasindo Brellian Gema Widayana mengatakan, Jasindo berkomitmen meningkatkan literasi risiko dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perlindungan asuransi.
“Sebagai BUMN asuransi umum, kami melihat asuransi wajib bencana dapat memperluas cakupan perlindungan dan memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat,” kata Gema kepada Kontan.co.id, Senin (15/12/2025).
Baca Juga: AAUI: Klaim Banjir Sumatra Tak Goyahkan Industri Asuransi
Ia menjelaskan, perlindungan risiko bencana saat ini umumnya masih diberikan melalui produk asuransi umum berupa perluasan jaminan, seperti pada asuransi kebakaran dan properti.
Jasindo menyediakan perluasan jaminan bencana alam, termasuk banjir, angin topan, badai, serta risiko kerusakan akibat air lainnya.
“Dengan perluasan ini, perlindungan tidak hanya mencakup kebakaran, tetapi juga risiko bencana alam yang berpotensi menimbulkan kerugian besar,” ujarnya.
Sementara itu, PT Asuransi Digital Bersama Tbk (YOII) menyatakan masih mencermati arah kebijakan OJK terkait rencana asuransi wajib bencana.
Menurut perusahaan, pendekatan perlindungan risiko bencana perlu dilihat lebih luas, tidak hanya dari sisi aset, tetapi juga dampaknya terhadap keberlangsungan aktivitas masyarakat.
Baca Juga: Babak Baru Industri Fintech Lending, Dapat Dukungan Asuransi Kredit
Corporate Secretary YOII Rahmat Dwiyanto mengatakan, fokus pengembangan produk perseroan saat ini berada pada asuransi gaya hidup, yakni produk dengan cakupan risiko sederhana, nilai pertanggungan terbatas, dan periode perlindungan jangka pendek.
“Produk ini ditujukan untuk memberikan perlindungan atas gangguan aktivitas harian, termasuk yang dipicu oleh kondisi darurat atau bencana,” kata Rahmat kepada Kontan, Senin (15/12/2025).
Beberapa produk yang dinilai relevan dalam konteks risiko bencana antara lain Asuransi Perjalanan Komprehensif dan Cancellation for Any Reason (CFAR), yang memberikan manfaat penggantian ketika perjalanan tidak dapat dilaksanakan akibat kondisi darurat.
Selain itu, YOII juga melihat peluang pengembangan asuransi mikro, termasuk asuransi kendaraan bermotor melalui kerja sama dengan platform hunian sewa untuk melindungi risiko kerusakan akibat bencana.
Dari sisi tantangan, Rahmat menilai asuransi bencana memiliki karakteristik risiko dengan frekuensi rendah namun potensi kerugian sangat besar.
Baca Juga: Lampaui Capaian 2024, Laba Fintech Lending Tembus Rp 2,09 Triliun per Oktober 2025
Oleh karena itu, dukungan reasuransi dinilai krusial agar produk tetap dikelola secara prudent dan berkelanjutan.
Di sisi lain, pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai penerapan asuransi wajib bencana di Indonesia sudah mendesak, mengingat tingginya tingkat kerawanan bencana serta adanya payung hukum melalui UU P2SK.
“Indonesia menempati peringkat kedua negara paling rawan bencana di dunia menurut World Risk Report 2024. Dengan eksposur risiko sebesar ini, asuransi wajib bencana menjadi kebutuhan,” kata Irvan kepada Kontan.co.id, Selasa (16/12/2025).
Irvan menilai kesiapan industri relatif memadai. Ia mencontohkan peran PT Asuransi MAIPARK Indonesia yang dimiliki oleh seluruh perusahaan asuransi umum nasional dan memiliki pengalaman panjang dalam pengelolaan risiko bencana.
“MAIPARK memiliki basis reasuransi gempa bumi dan catastrophe risk modeling yang memungkinkan pengukuran risiko secara akurat serta distribusi risiko ke pasar reasuransi lokal dan global,” ujarnya.
Baca Juga: AAUI: Ada 5 Perusahaan yang Gabung Konsorsium Asuransi Kredit Fintech Lending
Ke depan, Irvan memperkirakan bisnis asuransi bencana akan terus tumbuh seiring meningkatnya frekuensi dan dampak bencana alam.
Namun, ia mengingatkan tantangan utama masih ada, mulai dari premi yang cenderung tinggi akibat perubahan iklim, rendahnya literasi masyarakat, kompleksitas verifikasi klaim, hingga potensi moral hazard.
“Industri harus menyeimbangkan harga dan risiko, sementara edukasi publik menjadi kunci agar asuransi bencana dapat diterima luas,” pungkasnya.
Selanjutnya: Multi Makmur (PIPA) Rombak Bisnis: Ekspansi Migas & Right Issue di Kuartal III 2026
Menarik Dibaca: Wisata Labuan Bajo ke Depan, Tak Sekadar Indah tapi Juga Berkelanjutan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













