kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45905,65   -0,65   -0.07%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengenaan Pajak Menurunkan Minat Lender Mendanai Fintech P2P Lending


Jumat, 24 Juni 2022 / 15:35 WIB
Pengenaan Pajak Menurunkan Minat Lender Mendanai Fintech P2P Lending
ILUSTRASI. Pengunjung mendapatkan penjelasan mengenai sistem pembayaran digital di booth OttoPay saat pameran waralaba di Jakarta, Minggu (5/6). Pengenaan Pajak Menurunkan Minat Lender Mendanai Fintech P2P Lending.


Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pengaturan terhadap Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai nampaknya berdampak kepada minat para lender untuk memberikan pendanaannya ke fintech P2P lending kendati dampaknya belum terlihat secara signifikan.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Mei 2022 akumulasi jumlah rekening lender mencapai 1,51%  month to month (mtm) menjadi 888.209. Akumulasi tersebut menurun dibanding posisi bulan April 2022 yang mencapai 1,63%.

Namun demikian, outstanding pinjaman per Mei 2022 tetap terus melanjutkan peningkatan di angka 3,85% mtm menjadi Rp 40,17 triliun. Peningkatan tersebut lebih tinggi daripada bulan April 2022 yang hanya mampu mencapai 3,45%.

Selain itu, terdapat total Rp 18,63 triliun penyaluran pinjaman bulanan pada posisi bulan Mei 2022. Angka tersebut juga lebih tinggi dibanding posisi April 2022 yang hanya mencapai Rp 17,92 triliun. 

"Belum terdapat dampak signifikan atas adanya dampak pengenaan pajak di fintech P2P lending. Kami terus memantau dampak ketentuan perpajakan pada industri," kata Bambang kepada kontan.co.id, Jumat (24/6).

Baca Juga: Investree Telah Menyalurkan Pinjaman Rp 10 Triliun per Mei 2022

Di sisi lain, rekening lender ritel Mei 2022 bertambah 13.171, tambahan jumlah rekening tersebut lebih kecil dibanding posisi bulan April yang mampu mencatat sebesar 13.955.

Kendati demikian, Bambang menyampaikan, pihaknya belum dapat mengidentifikasi penurunan ini sebagai akibat adanya penerapan aturan pajak. Industri fintech P2P sedang mengalami tren perlambatan pertumbuhan jumlah rekening lender seiring dengan terdampaknya ekonomi pada masa pandemi covid-19 dan proses pemulihan ekonomi yang masih berjalan. 

Sementara itu, untuk suku bunga dan biaya pinjaman di industri fintech P2P lending dibatasi oleh AFPI. Saat ini batasan suku bunga dan biaya pinjaman tersebut maksimal sebesar 0,4% per hari.

Bambang menjelaskan, industri fintech P2P lending berbeda dengan industri jasa keuangan lain dimana nasabah di fintech P2P lending ada 2 sisi, yaitu lender dan borrower. Kenaikan imbal hasil untuk lender dapat menambah biaya bagi borrower.

"Kami melihat pasar masih dapat memberikan titik keseimbangan yang wajar untuk menyediakan imbal hasil yang cukup bagi lender dengan beban biaya pinjaman yang tidak memberatkan bagi borrower, terutama di masa pemulihan ini," terang Bambang.

Baca Juga: Pembiayaan Produktif Fintech Melesat, Buka Peluang Ekspansi Penyaluran ke Sektor Lain

Menurut Bambang, industri fintech P2P lending masih berkembang secara dinamis. Industri fintech P2P lending hadir dengan dibekali tingkat inovasi yang tinggi untuk dapat beradaptasi.

"Kami masih memprediksi industri fintech P2P lending masih terus dapat berkembang seiring dengan keadaan perekonomian yang pulih dan semakin baik di Indonesia. Kami terus dorong industri untuk mengembangkan ekosistem, khususnya melalui kolaborasi yang dimotori asosiasi," ungkapnya.

Sebagai catatan, lender bakal dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto bunga jika dia merupakan wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Lalu, pemberi pinjaman dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dari jumlah bruto bunga jika pemberi pinjaman merupakan wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah juga menyampaikan, bahwa kebijakan perpajakan pasti akan ada pengaruhnya, tapi sampai ini ia mengaku belum melihat apakah dampaknya signifikan atau tidak.

"Namun, kami yakin kebutuhan terhadap pinjaman dari industri fintech P2P lending masih ada, karena Indonesia masih memiliki credit gap yang tinggi. Tetapi apakah kita masih akan experience growth yang sama, saya yakin berpotensi menipis, akan ada dampak akibat perpajakan," ujar pria yang di sapa Kus tersebut.

Kendati demikian, Kus menyebut masih ada harapan bisa mencapai kisaran Rp 220 triliun untuk penyaluran pembiayaan fintech di tahun ini. Atau meningkat dari penyaluran pinjaman industri P2P lending yang mencapai Rp155,97 triliun di tahun lalu, dari sekitar 103 juta entitas lender kepada lebih dari 297,8 juta entitas borrower.

Baca Juga: Masa Jabatan DK OJK 2017-2022 Segera Berakhir, Kapan Aturan Fintech Lending Terbit?

"Kami akan memproyeksikan ulang setelah melihat tren mulai semester II/2022, setelah melihat bagaimana pengaruh kebijakan perpajakan terhadap para platform," kata Kus.

Salah satu fintech P2P lending malah sudah ada yang merasakan dampak dari adanya kebijakan perpajakan ini, yaitu DanaRupiah yang mengaku dengan adanya aturan pajak akan berdampak kepada penurunan minat lender untuk mendanai di fintech P2P.

"Pastinya minat lender jadi berkurang, bulan Mei mulai menurun," kata Presiden Direktur DanaRupiah Entjik S. Djafar.

Kendati demikian, tidak dijabarkan lebih lanjut berapa penurunan jumlah lender DanaRupiah di bulan Mei. Entjik menyebut, pajak yang dikenakan yaitu pajak atas bunga yang diperoleh para lender.  "Biaya layanan tidak naik, hanya mencari lender yang semakin berat," ujarnya.

Oleh karena itu, dalam meningkatkan jumlah lender, perusahaan menerapkan strategi dengan bersinergi bersama bank dalam program channeling. "Karena jika lender-nya bank, tidak dikenakan pajak," tambah Entjik. 

Sementara itu, Platform fintech P2P lending, Modalku mengaku, dengan diberlakukannya peraturan pajak tersebut di seluruh industri fintech, sampai saat ini pihaknya masih aktif melakukan pengawasan terkait dengan penyesuaian pajak tersebut.

"Harapannya, bisnis Modalku masih terus bertumbuh karena kami menyediakan fasilitas pendanaan yang kompetitif dengan range bunga yang bisa disesuaikan dengan profil risiko masing-masing pendana," kata Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya.

Baca Juga: Ramai Kabar Minat Fintech Lending Mengakuisisi Bank, Ini Kata AFPI

Sampai saat ini, total penyaluran Grup Modalku mencapai Rp 35,86 triliun dengan lebih dari 200.000 pendana yang melakukan pendanaan aktif di Grup Modalku. Di Indonesia, jumlah pendanaan ritel dapat dikatakan masih cukup stabil dan masih mendominasi portofolio pendanaan jika dilihat berdasarkan jumlah akun.

Selain itu, tingkat bunga di Modalku cukup variatif sesuai dengan portofolio pinjaman yang didanai oleh pendana. Secara umum, pendana bisa memperoleh tingkat bunga sekitar 10% – 17% per tahunnya tergantung dengan preferensi dan toleransi risiko masing-masing pendana. 

"Kami tentu memiliki harapan di tahun 2022 karena tahun ini merupakan tahun yang potensial akibat adanya keadaan perekonomian yang membaik. Ke depannya kami akan fokus untuk kolaborasi dengan berbagai pihak tentunya dapat menjadi solusi untuk perkembangan bisnis UMKM," ujar Reynold.

Sejalan dengan strategi bisnis Modalku untuk masuk dalam industri neobank saat ini, ke depannya Modalku juga akan menyesuaikan fasilitas yang disediakan sesuai dengan strategi bisnis tersebut. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk terus memajukan perekonomian Indonesia dan tentunya menjangkau lebih banyak segmen di Indonesia.  Kami selalu terbuka untuk memperluas jangkauan pembiayaan kami di seluruh Indonesia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×