kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.415.000   -13.000   -0,54%
  • USD/IDR 16.600   -6,00   -0,04%
  • IDX 8.089   173,32   2,19%
  • KOMPAS100 1.119   28,59   2,62%
  • LQ45 796   23,97   3,10%
  • ISSI 285   3,86   1,37%
  • IDX30 415   14,34   3,58%
  • IDXHIDIV20 470   17,22   3,80%
  • IDX80 124   2,97   2,46%
  • IDXV30 133   4,48   3,48%
  • IDXQ30 131   4,31   3,39%

Banyak Penugasan dari Pemerintah, Menopang atau Membebani Bank Himbara?


Senin, 20 Oktober 2025 / 17:33 WIB
Banyak Penugasan dari Pemerintah, Menopang atau Membebani Bank Himbara?
ILUSTRASI. Bank-bank milik negara (Himpunan Bank Milik Negara/Himbara) tengah disiubukkan dengan beragam penugasan baru dari pemerintah.


Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank-bank milik negara (Himpunan Bank Milik Negara/Himbara) tengah disiubukkan dengan beragam penugasan baru dari pemerintah.

Mulai dari penyaluran dana hasil penempatan saldo anggaran lebih (SAL) ke bank Himbara sekitar Rp 200 triliun, penyaluran pembiayaan koperasi Merah Putih. Hingga setoran dividen ke Danantara.

Ekonom menilai, semua kebijakan tersebut kini menjadi beban tambahan bagi bank-bank BUMN seperti PT Bank Mandiri, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Negara Indonesia (BNI), PT Bank Tabungan Negara (BTN), dan PT Bank Syariah Indonesia (BSI).

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, penugasan pemerintah kepada bank-bank Himbara baik melalui pinjaman langsung maupun sindikasi dinilai berpotensi menimbulkan risiko tinggi terhadap stabilitas keuangan perbankan pelat merah.

Baca Juga: Himbara Belum Salurkan Pembiayaan ke Koperasi Merah Putih, Begini Kata BNI dan BSI

Bhima mencontohkan, penugasan instan seperti penyalurkan kredit sebesar Rp 200 triliun dari dana pemerintah menjadi beban tambahan bagi Himbara. Apalagi, saat ini bank-bank tersebut masih memiliki kredit menganggur hingga Rp 480 triliun, sementara permintaan kredit dari dunia usaha cenderung tumbuh lambat.

“Kami heran, bagaimana bisa dalam waktu kurang dari satu bulan sejak penempatan dana Rp 200 triliun di bank Himbara, sudah ada yang cair lebih dari 70%,” ujar Bhima kepada kontan.co.id, Senin (20/10/2025).

Menurut Bhima, proses penyaluran kredit dalam jumlah besar biasanya memerlukan waktu cukup panjang untuk asesmen risiko, verifikasi profil debitur, hingga analisis proposal bisnis dan agunan. Namun, percepatan penyaluran ini dikhawatirkan membuat sejumlah aspek kehati-hatian diabaikan.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan adanya kekhawatiran bahwa sebagian pinjaman akan masuk ke program seperti Koperasi Desa Merah Putih, padahal banyak koperasi desa belum siap beroperasi atau mengelola pinjaman besar. “Kalau sampai kredit macet, yang akan disalahkan adalah personel bank Himbara,” kata Bhima.

Bhima menambahkan, percepatan penyaluran juga menimbulkan potensi mismatch antara sumber dan penyaluran dana. Karena kebutuhan pembiayaan sektor riil  terutama manufaktur masih lemah, dana penugasan berpotensi digunakan untuk menutup pinjaman jatuh tempo atau restrukturisasi kredit lama yang bermasalah.

“Risiko kredit macet dari pinjaman Rp 200 triliun ini mungkin belum terlihat sekarang, tapi pada kuartal II 2026 bisa muncul di kantor cabang bank,” katanya.

Jika skenario itu terjadi, menurut Bhima, potensi NPL (non-performing loan) dari penugasan bisa menimbulkan dampak hukum. “Karena sumber dananya berasal dari anggaran pemerintah, BPK bisa menilai ada potensi kerugian negara. Ini bisa berujung pada kriminalisasi terhadap direksi bank BUMN,” ujarnya.

Baca Juga: Himbara Belum Salurkan Pembiayaan ke Kopdes Merah Putih, Ini Respon Danantara

Bhima menilai, dibandingkan beban lain seperti kewajiban bunga valas 4% dan setoran dividen untuk Danantara, penugasan penyaluran dana SAL sebesar Rp 200 triliun merupakan aspek yang paling berisiko terhadap potensi fraud.

Sebagai solusi, Himbara disarankan untuk mengembalikan sebagian dana ke pemerintah apabila tidak siap menyalurkan seluruhnya secara tepat waktu. Selain itu, perlu dilakukan monitoring ketat, pemenuhan dokumen sesuai SOP, serta pendampingan bagi debitur penerima pinjaman.

“Intinya Himbara harus kerja extra mencegah fraud dan risiko gagal bayar pinjaman penugasan tahun depan. Disarankan Himbara menambah rekrutmen pengawas internal yang berpengalaman, dan mewaspadai exit strategy apabila Himbara disalahkan karena missmatch penyaluran pinjaman,” kata Bhima.

Bukan Hal Baru

Sementara itu,Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan penugasan terhadap Himbara sejatinya bukan hal baru. Namun, yang membedakan kali ini adalah sektor yang dituju.

“Kalau dulu lebih banyak ke infrastruktur, sekarang bergeser ke beberapa program baru seperti Koperasi Merah Putih (KMP). Bagi bank, ini bisa menjadi beban karena pasar kredit sedang lesu, sementara dana menganggur masih besar,” ujar Eko.

Menurutnya, kondisi tersebut membuat bank Himbara harus memutar otak untuk menyalurkan tambahan likuiditas dari pemerintah. Meski demikian, Eko menilai ada sisi positif bagi perbankan karena dana pemerintah tergolong lebih murah dibandingkan dana masyarakat.

“Bank bisa menggeser sumber kreditnya dari dana mahal hasil tabungan masyarakat ke dana murah dari penempatan pemerintah. Tapi karena sektor riil masih lambat, total kredit bank secara keseluruhan mungkin hanya naik sedikit,” jelasnya.

Baca Juga: Pemerintah Buka Peluang Menambah Penempatan Dana SAL di Bank Himbara

Eko menuturkan, dalam jangka pendek kebijakan ini memang bisa berdampak positif terhadap profitabilitas bank karena memperoleh dana murah. Namun, risiko dapat meningkat dalam jangka menengah jika penyaluran kredit dilakukan secara terburu-buru di tengah ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.

“Profit bisa naik sementara, tapi jika kredit macet (NPL) meningkat karena dipaksa menyalurkan dana ke sektor riil yang belum siap, keuntungan bank bisa tergerus,” kata Eko.

Selain itu, Eko juga menyoroti kebijakan Himbara menaikkan bunga simpanan valuta asing hingga 4% meskipun belakangan dibatalkan. Menurutnya, langkah tersebut berpotensi memperlemah nilai tukar rupiah.

“Bagi Himbara, mungkin penabung akan shifting ke dolar. Tapi bagi bank menengah dan kecil, ini bisa berdampak negatif. Kalau kurs melemah, target pertumbuhan ekonomi pun makin sulit tercapai,” tuturnya.

Lebih lanjut, Eko menilai program Koperasi Merah Putih yang juga menjadi bagian dari penugasan pemerintah berisiko tinggi dalam jangka menengah.

“Awalnya mungkin dianggap solusi karena tidak ada modal awal koperasi. Tapi bisnis itu punya siklus naik-turun. KMP lebih terlihat sebagai proyek dari atas dengan modal legalitas ketimbang kapasitas bisnis di daerah. Risiko kegagalannya tinggi, walau baru terlihat 2-3 tahun ke depan,” ujarnya.

Menurut Eko, kekhawatiran terhadap risiko ini juga dirasakan investor di pasar yang memantau kinerja bank-bank Himbara.

Eko mengingatkan, sebagai pemegang saham mayoritas, pemerintah memang memiliki hak untuk memberikan penugasan kepada bank Himbara. Namun, ia menegaskan kesehatan bank tetap harus menjadi prioritas.

“Hampir tidak mungkin berharap tidak ada tekanan dari pemerintah, tapi indikator kesehatan bank harus dijaga agar kredit macet tidak naik. Pemerintah juga perlu meninjau ulang kebijakan BUMN yang meminta bunga tinggi ke Himbara, karena hal itu membuat bunga kredit sulit turun,” tutur Eko.

Bank Menilai Efektif

Sementara sejumlah bank Himbara seperti PT Bank Mandiri (Tbk) menilai berbagai kebijakan pemerintah yang diluncurkan saat ini efektif dalam mendorong pertumbuhan kredit, khususnya di sektor-sektor prioritas.

Corporate Secretary Bank Mandiri M. Ashidiq Iswara menyebut, kebijakan tersebut turut memperluas akses pembiayaan bagi masyarakat dan pelaku usaha, sekaligus memperkuat peluang pembiayaan produktif di dalam negeri.

“Berbagai kebijakan pemerintah secara umum efektif untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor-sektor prioritas. Bagi Bank Mandiri, kebijakan tersebut memperkuat peluang pembiayaan produktif dan memperluas akses kredit bagi masyarakat serta pelaku usaha,” ujar Ashidiq.

Baca Juga: Purbaya Buka Peluang Himbara Tambah Penempatan Dana SAL, BRI dan BNI Minta Tambahan

Meski demikian, Bank Mandiri menilai efektivitas kebijakan tersebut tetap bergantung pada kondisi sektor riil. Oleh karena itu, evaluasi berkala diperlukan agar manfaatnya bisa lebih optimal.

Bank Mandiri mengakui, tantangan utama saat ini masih berasal dari ketidakpastian ekonomi global dan sikap kehati-hatian pelaku usaha dalam melakukan ekspansi. Sejumlah sektor juga masih dalam tahap pemulihan, sehingga permintaan kredit belum sepenuhnya pulih.

“Bank Mandiri tetap fokus menjaga kualitas pertumbuhan kredit melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang kuat,” ungkap Ashidiq.

Ke depan, Bank Mandiri akan terus bersinergi dengan pemerintah dan regulator untuk meningkatkan efektivitas kebijakan penyaluran kredit. Upaya tersebut dilakukan antara lain melalui penguatan digitalisasi proses kredit serta perluasan ekosistem pembiayaan produktif, khususnya bagi sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Dalam implementasinya, Bank Mandiri memastikan seluruh penyaluran kredit dilakukan secara efektif dan prudent. Perseroan juga terus melakukan diversifikasi portofolio kredit guna menjaga rasio NPL di level yang sehat serta mempertahankan keseimbangan antara risiko dan imbal hasil (risk and return).

Selain itu, Bank Mandiri juga menilai kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif dari pemerintah dan Bank Indonesia berperan penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan serta mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Namun, Bank Mandiri menekankan pentingnya menjaga keseimbangan agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan moral hazard.

“Bank Mandiri berkomitmen memastikan seluruh kebijakan dijalankan secara prudent dan bertanggung jawab,” tutup Ashidiq.

Baca Juga: Kemenkeu Ungkap Realisasi Penempatan Rp 200 Triliun Kas Negara di Himbara

Senada, Sekretaris Perusahaan BSI Wisnu Sunandar menyampaikan, tekanan likuiditas yang sempat terjadi pada paruh pertama tahun ini mulai menunjukkan perbaikan. Hal tersebut seiring dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 4,75%, serta adanya penempatan dana SAL sebesar Rp 10 triliun di BSI.

“Hingga pertengahan Oktober, dana tersebut sudah terserap sekitar 85% dan akan terserap tuntas dalam satu hingga dua bulan ke depan,” ujar Wisnu.

BSI terus memperkuat strategi akselerasi pembiayaan di seluruh segmen, sekaligus memperkuat mitigasi risiko untuk menjaga kualitas pembiayaan tetap sehat dan berkelanjutan. 

"Langkah ini merupakan bagian dari komitmen BSI terhadap penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan menjaga performa bisnis ke depan," katanya.

Hasilnya, rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing/NPF) gross berhasil dijaga pada level 1,87%, mencerminkan kualitas aset yang solid di tengah kondisi pasar yang dinamis.

Memasuki kuartal III/2025, BSI terus memacu ekspansi bisnis agar selaras dengan Rencana Bisnis Bank (RBB) yang telah ditetapkan. 

“Kami optimistis pertumbuhan pembiayaan akan meningkat, seiring kebijakan dan stimulus pemerintah yang mendorong daya beli masyarakat sehingga memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi,” jelas Wisnu.

Dengan strategi tersebut, BSI berupaya mempertahankan momentum pertumbuhan yang berkelanjutan sekaligus memperkuat perannya dalam mendukung pemulihan dan akselerasi ekonomi nasional berbasis keuangan syariah.

Selanjutnya: Hilirisasi Migas Tak Bergerak Cepat, Pemerintah Dinilai Gagal Dorong Konversi Energi

Menarik Dibaca: Tayang di Bioskop 30 Oktober 2025, Begini Sinopsis Film Pengin Hijrah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×