Reporter: Ferry Saputra | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerapkan ketentuan pembagian risiko atau risk sharing di industri penjaminan, dengan skema lembaga penjaminan menanggung maksimal 75% dari risiko kredit, sedangkan pemberi kredit tetap wajib menanggung minimal 25%. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin dan mulai berlaku pada November 2025.
Mengenai hal itu, PT Jamkrida Bali Mandara (Perseroda) menilai kebijakan pembatasan penjaminan maksimal 75% dapat menjadi langkah positif untuk memperkuat daya tahan perusahaan penjaminan.
Meski menjadi hal yang positif, Direktur Utama Jamkrida Bali I Ketut Widiana Karya mengatakan ketentuan itu juga menuntut perusahaan penjaminan perlu melakukan adaptasi model bisnis, penguatan kolaborasi, dan komunikasi intensif dengan mitra.
"Dengan demikian, tujuan utama kebijakan tercapai, tanpa menurunkan kinerja penjaminan secara keseluruhan," ujarnya kepada Kontan, Rabu (23/7).
Baca Juga: Kenaikan Risiko Kredit Macet Jadi Tantangan Industri Penjaminan
Lebih lanjut, Ketut menilai ketentuan pembagian risiko itu juga akan menimbulkan sejumlah dampak. Dia bilang nantinya risiko keuangan Jamkrida bisa lebih terjaga. Namun, daya tarik produk juga bisa menurun di mata mitra, serta memerlukan edukasi dan negosiasi ulang dengan mitra.
Menjelang implementasi pada November 2025, Ketut menyampaikan Jamkrida Bali saat ini sedang menyesuaikan diri dengan aturan penjaminan maksimal 75% melalui penyusunan ulang produk, ketentuan, dan Standar Operasional Prosedur (SOP).
"Selain itu, perusahaan juga memperbarui sistem dan teknologi komunikasi untuk mendukung implementasi aturan tersebut secara efektif," tuturnya.
Ketut juga berpendapat adanya aturan pembatasan penjaminan maksimal 75% di tengah tren perlambatan kredit dan kenaikan Non Performing Loan (NPL) memang menjadi tantangan. Namun, dia menilai aturan itu justru mendorong semua pihak untuk lebih selektif dan hati-hati, sehingga risiko kredit bermasalah bisa ditekan.
Secara umum, Ketut menyebut kondisi pasar penjaminan masih stabil dan Jamkrida Bali saat ini dalam posisi yang baik dengan tingkat klaim dan risiko yang terkendali.
Baca Juga: Pertumbuhan Kredit Perbankan yang Melambat Berdampak ke Perusahaan Penjaminan
Sementara itu, Ketut mengatakan nilai penjaminan yang dibukukan Jamkrida Bali per Juni 2025 sebesar Rp 875,28 miliar, dengan nilai klaim sebesar Rp 18,53 miliar.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan ketentuan risk sharing yang diterapkan di industri penjaminan juga sejalan dengan POJK Nomor 20 Tahun 2023 terkait produk asuransi kredit. Dia mengatakan adanya ketentuan risk sharing dapat berdampak positif bagi industri penjaminan.
"Ketentuan risk sharing dalam POJK 11/2025 bertujuan untuk menjaga prinsip kehati-hatian dan mendorong praktik penjaminan yang sehat," ucapnya dalam lembar jawaban resmi RDK OJK, Jumat (18/7).
Ogi bilang tujuan lainnya, yaitu memastikan lembaga pemberi kredit tetap menjalankan analisis kelayakan debitur secara memadai, serta menjaga akuntabilitas dan kualitas penyaluran kredit. Dia menekankan pembagian risiko tersebut merupakan hal penting untuk memperkuat keberlanjutan bisnis lembaga penjaminan dan sejalan dengan praktik manajemen risiko yang berlaku secara internasional.
Baca Juga: Aset Industri Penjaminan Diproyeksi Tumbuh 6%-8% hingga Akhir 2025
Selanjutnya: Industri LKM Perlu Lakukan Sejumlah Strategi Ini untuk Dorong Kinerja pada 2025
Menarik Dibaca: Fitur Lifestyle Hadir di PLN Mobile, Perluas Layanan ke Ranah Hiburan dan Gaya Hidup
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News