Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tantangan bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia masih sangat besar. Hal ini tercermin dari pertumbuhan kredit di sektor ini yang cenderung melambat, sementara rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) terus mengalami peningkatan.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, hingga Juni 2025, kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum hanya tumbuh 2,18% secara tahunan menjadi Rp 1.404 triliun. Sementara itu, rasio NPL naik menjadi 4,49%, lebih tinggi dibanding Mei 2025 sebesar 4,41% dan Desember 2024 sebesar 3,76%.
Kondisi yang lebih memprihatinkan terjadi di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada April 2025, pertumbuhan outstanding kredit UMKM di BPR hanya mencapai 0,9% secara tahunan menjadi Rp 83,2 triliun, dengan rasio NPL yang sangat tinggi, yakni 17,03%.
Ekonom Senior Aviliani menilai, hambatan utama UMKM di Indonesia adalah terbatasnya akses pasar. Ia menyebut, berbeda dengan negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang, UMKM di Indonesia belum banyak terintegrasi ke dalam rantai pasok (supply chain) perusahaan besar.
Baca Juga: Kredit UMKM Belum Pulih, Segmen Mikro Justru Terlihat Turun
Hingga saat ini, menurutnya, hanya ada sekitar tiga sampai empat perusahaan di Indonesia yang memiliki hubungan rantai pasok dengan UMKM.
Dia melihat bahwa selama ini pemerintah hanya mendukung sektor ini dari sisi supplai dengan mendorong penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Tapi, ia menilai kunci utama pengembangan UMKM harus dari sisi demand.
“Yang paling penting sebetulnya adalah mendorong sisi permintaan. Harus ada koneksi ke perusahaan besar. Inilah yang perlu dibenahi jika ingin UMKM berkembang,” jelas Aviliani dalam diskusi bertajuk “Navigating Regulation Shifts and Market Uncertainties in Indonesia & ASEAN” yang diselenggarakan oleh Bank UOB, Selasa (22/7).
Aviliani menambahkan, dorongan pembiayaan tanpa diiringi pengembangan pasar justru berisiko memperburuk rasio kredit bermasalah. UMKM yang terus disuntik modal tanpa perbaikan model bisnis atau perluasan pasar hanya akan jalan di tempat.
Baca Juga: Kredit UMKM Belum Pulih, Segmen Mikro Justru Catat Penurunan
Sebagai solusi, Aviliani mendorong terbentuknya hubungan yang lebih erat antara UMKM dan pelaku usaha besar. Model integrasi seperti ini, kata dia, telah terbukti efektif di beberapa negara maju, di mana UMKM menjadi bagian dari rantai pasok industri besar dan mendapatkan kepastian pasar.
Agar skema ini berjalan optimal, menurutnya, perlu ada insentif bagi perusahaan besar yang bersedia membina UMKM. “Kalau tidak diberi insentif, perusahaan besar tentu akan enggan melakukan pembinaan,” ujarnya.
Dengan menjadi bagian dari rantai pasok industri besar, dia yakin UMKM akan memiliki peluang untuk berkembang dan mengakses pasar yang lebih luas. Di sisi lain, perusahaan besar juga akan mendapatkan keuntungan berupa pasokan yang lebih stabil dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor.
Lebih lanjut, Aviliani juga menyoroti pembentukan Koperasi Desa Merah Putih yang baru saja diluncurkan pemerintah. Ia mengingatkan agar koreasi itu bisa dipastikan menjadi motor penggerak yang menciptakan nilai tambah bagi petani dan pelaku UMKM di desa.
“Kalau pada akhirnya koperasi itu hanya mengambil peran seperti bank, maka tujuan awalnya tidak akan tercapai. Namun, harapannya dana Rp 3 miliar yang di suntik sebagai modalnya tidak berhenti sebagai angka di atas kertas atau malah menjadi kredit macet, tapi digunakan secara strategis untuk menjembatani usaha kecil,” pungkasnya.
Selanjutnya: Laba Askrindo Syariah Tumbuh 5,11% pada Semester I-2025
Menarik Dibaca: Anda Sembelit? Ini 16 Makanan untuk Melancarkan Pencernaan dan BAB
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News