Reporter: Nadya Zahira | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat beberkan strategi utama yang bisa dilakukan perusahaan penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman daring agar mereka bisa memenuhi kewajiban ekuitas minimal sebesar Rp 12,5 miliar yang harus dipenuhi paling lambat pada Juni 2025.
Asal tahu saja, hal ini menjadi amanat dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebutkan strategi yang bisa dilakukan utamanya yaitu, perusahaan fintech P2P lending harus memperkuat dan menyehatkan permodalan. Menurut dia, ketika permodalan kuat, maka perusahaan mampu menanggung risiko dari bisnis ini.
Baca Juga: Sejumlah Fintech P2P Lending Beberkan Strategi Kejar Target Ekuitas Rp 12,5 Miliar
“Bisnis pinjaman daring merupakan bisnis yang risiko-nya cukup tinggi. Maka dibutuhkan platform yang secara finansial mencukupi. Salah satu indikatornya dari sisi permodalan yang kuat,” kata Nailul kepada Kontan, Minggu (16/2).
Namun demikian, Nailul mengatakan, permodalan yang kuat ini dipengaruhi oleh kinerja dari perusahaan juga. Pasalnya, jika kinerja perusahaan fintech P2P lending itu baik, maka cenderung mempunyai permodalan yang kuat pula.
“Ketika berkinerja bagus, perusahaan akan diberikan pendanaan yang cukup oleh lender, sehingga modal minimum yang disyaratkan akan mudah dipenuhi,” ujarnya
Sebaliknya, Nailul bilang, ketika platform fintech P2P lending tersebut kinerjanya kurang apik, maka pendanaan akan berkurang, karena lender tak tertarik untuk memberikan pendanaan.
Kendati begitu, dia menilai masalah yang membuat kinerja fintech P2P lending menjadi buruk juga dipengaruhi oleh kebijakan yang dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nailul menyebutkan, misalnya tentang bunga manfaat yang berubah, hal ini pasti akan berpengaruh terhadap kinerja penyaluran pinjaman daring karena berpengaruh terhadap pendapatan lender.
Baca Juga: Menghadapi Tantangan Kepercayaan Publik, Industri Asuransi Harus Gencarkan Edukasi
“Bagi platform pinjaman daring yang mengandalkan lender ritel, pasti akan kesulitan. Keseimbangan bunga manfaat ini yang harus dicari oleh regulator,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Nailul menilai bahwa pengaturan pinjaman daring juga harus didasarkan pada kondisi industri fintech P2P lending, di mana ketika industri sedang butuh booster, maka kebijakan OJK harus menyesuaikan.
Selain itu, ia menegaskan investor ritel juga harus diperhatikan oleh OJK terkait regulator dan bagaimana perlindungannya.
“Jadi memperkuat permodalan platform merupakan satu langkah yang bagus, tapi juga harus memperhatikan langkah yang dapat memperkuat permodalan melalui pengaturan-pengaturan lainnya,” kata dia.
Baca Juga: Perbankan Diminta Selektif Salurkan Kredit ke Fintech Hingga Startup, Ini Alasannya
Di sisi lain, Nailul berpendapat ketentuan peningkatan modal minimum tersebut akan memberikan sejumlah dampak terhadap industri fintech P2P lending. Sisi positifnya, industri akan lebih sehat dengan permodalan yang kuat.
"Dari sisi lender juga akan beranggapan bahwa industri fintech P2P lending akan kuat," tuturnya.
Namun, Nailul mengatakan pemenuhan modal minimum tersebut juga bisa menjadi tantangan bagi fintech P2P lending. Sebab, dia bilang cukup sulit bagi industri ini untuk mendapatkan permodalan dengan berbagai kondisi atau dinamika yang terjadi, termasuk dari sisi perekonomian.
Selanjutnya: Daftar Lengkap Harga Jersey Baru Timnas Indonesia, Paling Murah Rp 199.000
Menarik Dibaca: FISIP UI Night Run 2025: Gabungan Olahraga, Hiburan, dan Kegiatan Sosial
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News