kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.871.000   -20.000   -1,06%
  • USD/IDR 16.445   -75,00   -0,45%
  • IDX 7.107   66,36   0,94%
  • KOMPAS100 1.034   12,73   1,25%
  • LQ45 806   9,73   1,22%
  • ISSI 223   1,91   0,86%
  • IDX30 421   5,94   1,43%
  • IDXHIDIV20 502   10,81   2,20%
  • IDX80 116   1,41   1,23%
  • IDXV30 120   2,66   2,27%
  • IDXQ30 138   2,04   1,50%

Ini Kronologi di Balik Penetapan Bunga 0,8% oleh AFPI pada 2018


Jumat, 16 Mei 2025 / 06:24 WIB
Ini Kronologi di Balik Penetapan Bunga 0,8% oleh AFPI pada 2018
ILUSTRASI. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini tengah mengusut kasus dugaan kartel bunga pinjaman online (pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending


Reporter: Ferry Saputra | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini tengah mengusut kasus dugaan kartel bunga pinjaman online (pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending.

Tercatat, penyelenggara yang tergabung dalam asosiasi industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), sempat menetapkan dua kali besaran bunga, yakni sebesar 0,8% pada 2018 dan 0,4% pada 2021.

Baca Juga: KPPU Duga Ada Kartel Bunga Pinjol, Begini Respons AFPI

Mengenai hal itu, Sekretaris Jenderal AFPI periode 2018-2023 Sunu Widyatmoko sempat menuturkan penetapan bunga 0,8% pada 2018 yang tertuang dalam Code of Conduct AFPI bertujuan untuk membedakan fintech lending legal dengan pinjol ilegal.

Pada dasarnya, Sunu bilang saat itu masyarakat sulit membedakan fintech lending legal dan pinjol ilegal, seiring dengan literasi keuangan yang masih sangat rendah.

Alhasil, dia menyebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta penyelenggara untuk membentuk asosiasi dan menetapkan bunga atas sebagai langkah untuk membedakan fintech lending legal dan pinjol ilegal.

"Saat itu, mereka (masyarakat) tidak bisa membedakan mana yang legal dan tidak legal. Dengan demikian, waktu itu, OJK menyampaikan harus dibentuk suatu asosiasi khusus untuk mewadahi fintech lending agar perilaku dalam melakukan usaha itu dapat diatur sesuai dengan peraturan OJK," ungkapnya saat konferensi pers di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (14/5).

Sunu menyampaikan tujuan dari dibentuknya AFPI pada saat itu untuk melindungi konsumen. Oleh karena itu, AFPI menyusun Code of Conduct.

Dia bilang OJK saat itu melihat perlu adanya tindakan yang lebih konkret untuk bisa membedakan platform legal dengan ilegal dari sekadar membuat kode etik yang tertuang dalam Code of Conduct AFPI.

Baca Juga: AFPI: Penyesuaian Bunga Fintech Lending 2025 Berdasarkan Hasil Diskusi dengan OJK

Alhasil, OJK mengarahkan dan meminta AFPI harus menetapkan batas atas bunga sebagai langkah konkret. Sebab, saat itu, bunga yang dipatok pinjol ilegal berkisar antara 3%-4% per hari. 

"OJK bilang silakan menetapkan berapa bunga maksimum yang harus ditaati oleh anggota AFPI," ungkapnya.

Lebih lanjut, Sunu menerangkan saat itu AFPI coba mencari referensi terkait penetapan suku bunga dan akhirnya mengacu pada industri fintech lending yang ada di Inggris.

Terkait referensi tersebut, dia mengaku sempat komplain pada saat itu karena level risiko antara Inggris dan Indonesia sangat berbeda.

"Jadi, waktu itu kami bilang oke, mengacu pada Inggris. AFPI berdiskusi dengan OJK. Akhirnya, kami sepakat. Dasar penetapan itu memang inginnya OJK. Kami diminta untuk menurunkan oleh OJK," tuturnya.

Sunu mengatakan saat itu OJK tak punya dasar payung hukum yang kuat untuk mengatur batas bunga fintech lending. Dengan demikian, AFPI menjadi perpanjangan tangan dari OJK untuk mengatur batas bunga.

"Untuk membedakan, saat itu, setiap anggota AFPI yang berjumlah sekitar 150 dapat dipastikan bunga pinjamannya tidak lebih dari 0,8% per hari," katanya.

Sunu menerangkan persaingan usaha di antara penyelenggara fintech lending saat itu tetap terjadi, meski sudah dibatasi bunganya menjadi 0,8%.

Baca Juga: AFPI Klaim Batas Bunga Maksimum Bukan Penyeragaman Harga

Dia bilang penyelenggara bebas untuk menetapkan besaran bunga yang dikenakan sesuai dengan risk profile sama porsi risiko yang ada di masing-masing platform. Dengan catatan, tak boleh berada di atas batas maksimum 0,8%.

"Jadi, batas bunga maksimum pada waktu itu, salah satunya untuk membedakan antara platform yang legal dan ilegal," ujarnya.

Selain itu, AFPI juga membantah adanya penyesuaian bunga dari 0,8% menjadi 0,4% pada 2021 merupakan  keinginan dari para penyelenggara. Sebab, tidak ada penyelenggara yang senang kalau bunga fintech lending itu turun karena bisa berdampak terhadap kinerja.

"Buat kami (fintech lending), makin bunga diturunkan itu artinya adalah pinjaman yang bisa diberikan akan berkurang. Kenapa? Sebab, artinya konsep risk and return, kami hanya bisa memberikan kepada orang dengan profil risiko yang rendah. Profil risiko tinggi menjadi tidak bisa diberikan kami," katanya.

Hal itu berbanding terbalik dari konsep inovasi fintech lending yang mana perlu adanya kesempatan pemberian pembiayaan kepada orang atau borrower yang risikonya dianggap tinggi. Sunu menyebut konsep itu menjadi tidak jalan dengan adanya batasan bunga.

"Kalau profil risiko 0,8% sama 0,4% itu pasti berbeda. Artinya, orang yang dipilih oleh platform adalah orang yang secara risiko kecil. Misalnya, pegawai tetap atau orang yang sudah punya catatan di Fintech Data Centre (FDC) dengan risiko yang lebih baik. Dengan demikian, konsep inovasi tidak jalan," ungkapnya.

Dengan demikian, Sunu menegaskan apabila penyesuaian bunga yang dilakukan itu merupakan kesepakatan bersama antarpenyelenggara seperti yang dituduhkan KPPU, dinilainya tak masuk akal.

Baca Juga: Ini Respons AFPI Soal Dugaan Kartel Bunga Pinjol

Sebab, penyelenggara tak mungkin melakukan hal tersebut, yang mana bertentangan dengan apa yang diinginkan para penyelenggara dalam hal melakukan inklusi keuangan.

"Hal itu menjawab argumen KPPU yang menyatakan bahwa penyesuaian bunga merupakan kesepakatan para penyelenggara, menjadi tidak berlaku. Jadi, bukan 5-6 orang berkumpul untuk memutuskan, itu tidak. Jadi, benar-benar organisasi menjalankan dan dalam tanda kutip diminta oleh OJK supaya bisa memerangi pinjol ilegal secara efektif," ujarnya.

Setelah Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) disahkan dan OJK menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 19 Tahun 2023 yang secara rinci mengatur bunga pinjaman fintech lending sebesar 0,3%.

AFPI kemudian segera mencabut batas bunga maksimum 0,4% tersebut dan menyelaraskan sepenuhnya dengan ketentuan regulator.

Sebagai informasi, KPPU akan menyidangkan dugaan pelanggaran kartel suku bunga di industri pinjol dalam Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. 

"Langkah itu menandai eskalasi serius atas temuan indikasi pengaturan bunga secara kolektif di kalangan pelaku usaha pinjaman berbasis teknologi," kata Ketua KPPU Fanshurullah Asa dalam keterangan tertulis, Selasa (29/4).

Baca Juga: AFPI Jelaskan Penyebab Pembiayaan Fintech Lending Masih Tumbuh Signifikan

Penyelidikan KPPU mengungkap adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online atau fintech lending yang ditetapkan sebagai Terlapor diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal (eksklusif) yang dibuat asosiasi industri, AFPI. Adapun KPPU menyoroti peristiwa tersebut terjadi selama periode 2020 hingga 2023.

Selanjutnya: Perlu Insentif Agar Ekonomi Bergulir

Menarik Dibaca: 35 Quotes Tentang Buku Untuk Peringatan Hari Buku Nasional 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Thrive

[X]
×