kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kredit Proyek Fiktif Pertamina, 8 Pegawai Bank Permata Divonis 3 Tahun Penjara


Jumat, 04 September 2020 / 11:06 WIB
Kredit Proyek Fiktif Pertamina, 8 Pegawai Bank Permata Divonis 3 Tahun Penjara
ILUSTRASI. Palu sidang. (Kontan/Panji Indra)


Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Yuwono triatmojo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hakim menjatuhkan vonis pidana masing-masing 3 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider 3 bulan, kepada 8 bankir PT Bank Permata Tbk (BNLI). Tuntutan ini merupakan buntut dari kasus kredit proyek fiktif mengatasnamakan PT Pertamina, yang dilakukan PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL).

Putusan tersebut dibacakan hakim pada persidangan kasus kredit proyek fiktif MJPL yang digelar di PN Jakarta Selatan, Kamis (3/9).

Kedelapan tersangka yang marupakan pegawai Bank Permata tersebut, terdiri dari:

1. Ardi Sedaka
2. Denis Dominanto
3. Eko Wilianto
4. Muhammad Alfian Syah
5. Yessy Mariana
6. Henry Hardijaya
7. Liliana Zakaria
8. Tjong Chandra

Delapan terdakwa terbukti melanggar Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan. Adapun pasal tersebut berbunyi: Anggota dewan komisaris atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 8 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 5 miliar dan paling banyak Rp 100 miliar.

Pidana penjara yang diputuskan hakim, lebih ringan dari tuntutan Jaksa yang selama 5 tahun dan denda Rp 5 miliar. Terhadap putusan tersebut, para pengacara terdakwa memutuskan megajukan banding.

Yudistira selaku kuasa hukum terdakwa Chandra Tjong, Denis Dominanta, Hendry Hardijaya, Yessy Mariana mengatakan, putusan tersebut sangat jauh dari rasa keadilan.

Dia menyatakan bahwa kliennya dipersalahkan terkait hal yang bukan menjadi kewajiban dalam job description jabatannya, yaitu pemeriksaan dokumen pada saat pelaksanaan pencairan yang menyebabkan kredit tersebut bisa dicairkan.

Hal ini, lanjut Yudistira, bisa terjadi karena pemahaman yang kurang mendalam terkait UU Perbankan. "Itulah sebabnya dalam peraturan OJK ditentukan, penyidik tindak pidana perbankan adalah OJK (Otoritas Jasa Keuangan), bukan institusi lain agar memahami mekanisme perbankan," tulis Yudistira dalam pesan singkatnya kepada KONTAN, Jumat (4/9).

Dia menambahkan, kliennya hanya menganalisa dokumen yang diajukan dalam proposal kredit. "Sekali lagi proposal, bukan dalam proses yang menentukan kredit itu bisa cair atau tidak. Untuk bisa cair atau tidak, ada bagian lain yg harus melakukan verifikasi kebenaran dokumen sebelum dicairkan," tandas Yudistira.

Yudistira mengatakan, kliennya menduga, mereka sengaja dikorbankan untuk kepentingan pihak tertentu terkait pencairan asuransi terhadap kredit bermasalah tersebut. Namun hal tersebut, lanjut Yudistira, masih menjadi dugaan kliennya yang masih harus dicek kebenarannya apakah benar dengan adanya karyawan bank yang dinyatakan bersalah sehingga bank dapat mencairkan asuransi kredit bermasalah. 

"Klien kami sedang mempertimbangkan untuk melakukan proses hukum terhadap pihak pihak yang menurut para terdakwa berada dibalik semua ini. Untuk selanjutnya kami akan mengajukan Banding terhadap Putusan tersebut untuk memperjuangkan nasib klien kami," kata Yudistira.

Demikian juga dengan Irawan Sutanto, kuasa hukum terdakwa Liliana Zakaria. Dia menegaskan bahwa keputusan majelis hakim dirasakan sangat memberatkan karena sangat tidak adil. "Sederhananya, yang membobol bank dihukum hanya 23 bulan tanpa denda, sementara terdakwa/klien yang sudah bekerja sesuai SOP, dipersalahkan dan diminta untuk mempertanggungjawabkan dengan hukuman yang lebih berat dari pembobol bank yaitu 36 bulan ditambah denda Rp 5 miliar," keluh Irawan, Kamis (3/9). 

Untuk itu, tandas Irawan, kliennya akan mengajukan banding karena pertimbangan-pertimbangan majelis hakim tidak berimbang, terkesan membebankan kesalahan pembobol bank maupun kerugian bank kepada karyawan. Padahal, karyawan bukan pemilik/pemegang saham yang harus menanggung resiko atau kerugian bisnis dengan mendasarkan karyawan melanggar pasal 49 ayat 2(b) UU Perbankan.

Irawan dengan tegas mempertanyakan tanggung jawab pihak lain di PT Bank Permata Tbk (BNLI). "Lalu bagaimana pertanggungjawaban direksi, komisaris, komisaris independen, komite audit dan komite-komite pengawas dan pembina lainnya, juga OJK," ujar Irawan. 

Dia menambahkan,dalam kasus ini para terdakwa tidak ada satu pun yang menerima suap atau imbalan dari debitur nakal tersebut. "Apa lacur, malingnya lebih pintar. Mereka (karyawan Bank Permata) sekarang yang menjadi tumbal atau kambing hitam," sesal Irawan.

Sementara itu, pihak Bareskrim Polri menyatakan, apa yang telah diputuskan hakim sudah tepat. Selanjutnya, kata AKBP Vanda Rizano Kanit V Subdit Perbankan Tipideksus Bareskrim Polri, akan ada dua tersangka lain di tahap II yang berkas kasusnya akan masuk pengadilan. Mereka adalah Roy Arman Arfandi (mantan direktur utama) dan Anita Kumala Siswadi (mantan direktur).

"Kedua tersangka Roy Arman dan Anita Siswadi, tentu memiliki peran dan ancaman hukuman yang lebih besar juga," ucap Vanda yang juga pernah menjabat sebagai penyidik kepolisian yang dipekerjakan di OJK periode 2016-2018, Jumat (4/9).

Seperti telah ditulis sebelumnya, Jaksa menyebut total tersangka dalam kasus ini berjumlah 11 orang. Dua dari tiga tersangka berkasnya akan masuk pengadilan, atas nama Roy Arman Arfandi dan Anita Kumala Siswadi. Sementara satu tersangka lain yakni Michael Alan Coye (mantan direktur) berkewarganegaraan Amerika Serikat ((AS), masih berstatus buronan.

Beberapa waktu lalu, Jaksa menegaskan delik pada rumusan pasal Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan memang unik. Para terdakwa dituntut pidana, karena tidak menjalankan kewajibannya seperti yang dirumuskan peraturan. "Mereka tidak melalukan pengecekan. Sebenarnya kasus ini tidak perlu terjadi jika dilakukan pengecekan, karena proyeknya fiktif," tutur jaksa, Rabu (19/8).

Hal ini terbukti setelah pada 16 Oktober 2017, Bank Permata di bawah Direktur Utamanya yang baru, Ridha D.M. Wirakusumah, berupaya mengkonfirmasi proyek MJPL ke Pertamina. Pertamina lewat surat tanggal 15 November 2017 menjawab, bahwa 7 kontrak yang dibiayai Bank Pertama itu fiktif.

Baca Juga: Mantan Direksi Bank Permata Tersandung Kredit Proyek Fiktif Pertamina Rp 1,2 Triliun

Sebagai pihak yang dicatut namanya sebagai pemberi proyek kepada MJPL, PT Pertamina pun memberikan klarifikasi. Saat dihubungi KONTAN beberapa waktu lalu, Fajriyah Usman Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Kepada KONTAN, kembali menegaskan hal tersebut. "Pertamina tidak ada kaitannya dengan kasus tersebut," tutur Fajriyah, Senin (10/8).

Adapun Juniver Girsang selaku kuasa hukum PT Bank Permata Tbk sempat menyatakan, nilai outstanding kredit fiktif tersebut berkisar Rp 1,2 triliun. Dari keterangan pihak Pertamina, Bank Permata lantas melaporkan kasus kredit fiktif tersebut ke bagian Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, sekitar pertengahan tahun 2018.

"Bareskrim lantas secara mandiri, mengembangkan kasus ini dari keterangan pihak MJPL. Polisi menggeledah, menyita dan menetapkan sejumlah tersangka dari pihak Bank Permata," tutur Juniver, Selasa (11/8). Sejak ditetapkan menjadi tersangka, kata Juniver, pihak Bank Permata tidak lagi memberikan bantuan hukum kepada para pegawai tersebut.

Temuan Bareskrim

Kepada KONTAN, Brigadir Jenderal Helmy Santika Direktur Tipideksus Bareskrim Polri, Selasa (18/8) mengungkapkan, para tersangka dari pihak Bank Permata tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank ketentuan dalam UU Perbankan.

Pada saat memproses pengajuan fasilitas kredit oleh MJPL, direksi dan pegawai Bank Permata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, tidak melakukan pengecekan kebenaran adanya proyek-proyek yang akan dibiayai tersebut.

Mereka, lanjut Helmy, juga tidak melakukan trade checking, termasuk misalnya memeriksa kebenaran dan keaslian Surat Perintah Memulai Pekerjaan (SPMP) tertanggal 26 Agustus 2013 dan surat penunjukan pemenang pemilihan langsung tanggal 12 Agustus 2013 yang seolah-oleh dikeluarkan oleh Pertamina.

"Mereka juga tidak melakukan trade checking, site on visit kepada supplier maupun kepada PT Pertamina, tidak memeriksa kejanggalan invoice yang diajukan MJPL," terang Helmy.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam hal ini telah menemukan ketidakberesan dalam kasus tersebut, lewat pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan surat perintah pemeriksaan tanggal 18 Mei 2017. Namun meski menemukan pelanggaran, kasus ini tidak pernah ditindaklanjuti dengan melimpahkannya ke tahap penyidikan.

Sebab berdasarkan Peraturan Dewan Komisioner (PDK) Nomor 3/PDK.01/2015 yang telah direvisi menjadi PDK Nomor 1/PDK.02/2020 tentang Pelaksanaan
Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan, temuan dugaan pelanggaran itu seharusnya dilanjuti ke Departemen Pemeriksaan Khusus dan Investigasi Perbankan (DKIP). Selanjutnya dari DKIP, proses pemeriksaan berlanjut ke tahap penyidikan di Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan (DPJK) OJK.

Baca Juga: BEI Minta Bank Permata (BNLI) Jelaskan Kredit Proyek Fiktif Pertamina Rp 1,2 Triliun

Fakta temuan pelanggaran dalam kredit proyek fiktif tersebut oleh OJK, telah diungkapkan Adief Rozali Deputi Direktur Pengawas Bank III OJK sebagai saksi dalam persidangan.
 
Sebagaimana diketahui, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22/POJK.01/2015 mengatur tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Pasal 2 ayat 1 POJK tersebut menyebutkan,  OJK berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.

Pasal 3 merinci, penyidik OJK terdiri dari pejabat penyidik kepolisian yang dipekerjakan di OJK; dan/atau pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) yang dipekerjakan di OJK dan diberi wewenang khusus sebagai penyidik.

KONTAN sebelumnya sempat mengkonfirmasi kasus kredit proyek fiktif tersebut kepada pihak OJK. Slamet Edy Purnomo, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK mengklaim, OJK sudah menindaklanjuti dugaan pelanggaran itu. "Bahkan sudah diserahkan kepada pihak kepolisian berdasarkan SKB antara OJK, kepolisian dan Kejagung (Kejaksaan Agung)," tutur Slamet Edy, kepada KONTAN, Minggu (9/8).

Namun saat dikonfirmasi kembali, apakah OJK menindaklanjuti kasus tersebut hingga ke tingkat penyidikan di Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan (DJPK), Slamet Edy hingga tulisan ini diturunkan belum memberikan jawaban.

Pembiayaan ganda

Fakta menarik lainnya dari kasus ini adalah, aksi MJPL ternyata juga mengakibatkan kerugian bagi dua bank besar lain, yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Kedua bank BUKU IV ini juga menyalurkan kredit kepada MJPL pada tahun 2014 silam. Dalam fakta persidangan, saksi dari OJK menyebut ada pembiayaan ganda atas proyek yang diajukan MJPL sebagai jaminan kredit. Adanya kesaksian saksi OJK tersebut, dibenarkan oleh jaksa dan kuasa hukum terdakwa.

Terkait hal tersebut manajemen BCA memberikan penjelasan bahwa benar pihaknya membiayai proyek MJPL di Balongan dan Ngurah Rai. "Namun proyek tersebut tidak bersifat fiktif," terang Hera F Haryn, Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication PT Bank Central Asia Tbk lewat pesan singkatnya kepada KONTAN, Rabu (19/8)  

Hera menyatakan pembiayaan tersebut awalnya macet namun telah diselesaikan dengan penjualan agunan dan aset lainnya sehingga BCA telah memperoleh settlement tunai. "Dapat kami sampaikan juga bahwa dalam menjalankan bisnis operasional perbankan, BCA senantiasa berkomitmen untuk menyalurkan kredit secara prudent dan tetap mengkaji peluang serta mempertimbangkan prinsip kehati-hatian," imbuhnya.

Baca Juga: PermataBank menjalin kemitraan bisnis dengan Astra guna perluas layanan digital

Adapun pihak Bank Mandiri menyatakan benar ada kredit macet atas nama MJPL. "Baki debet per 31 Desember 2019 senilai Rp 685 miliar," tutur Rohan Hafas Senior Executive Vice President Corporate Relation PT Bank Mandiri Tbk kepada KONTAN, Rabu (19/8). Adapun limit kredit yang diberikan Bank Mandiri kepada MJPL mencapai Rp 845 miliar.

Rohan bertutur, bahwa pengajuan kredit MPJL ke Bank Mandiri juga mengatasnamakan proyek dari Pertamina. "Tapi kalau di Bank Mandiri, tidak untuk membiayai proyeknya, tetapi untuk anjak piutang atas dokumen-dokumen tagihan dari proyek Pertamina. Yang dijadikan jaminan adalah invoice plus jaminan fixed assets, karena Bank Mandiri meminta tambahan jaminan fixed assets," terang Rohan.

Pembayaran MJPL kepada Bank Mandiri mulai macet sejak 31 Januari 2018. Meski macet, Rohan menyatakan recovery rate atas kredit bermasalah MJPL oleh Bank Mandiri mencapai 80% hingga 90%.

Namun proses eksekusi barang jaminan terhenti, seiring proses persidangan. "sebelumnya sudah ada persetujuan bahwa debitur akan menjual sendiri asetnya. Apabila sampai masa tenggang 31 Juli 2019 belum terjual, maka Bank Mandiri berhak melakukan tindakan termasuk dan tidak terbatas pada lelang," ujar Rohan.

Selanjutnya: Bank Mandiri dan BCA Menjawab Kasus Kredit Proyek Fiktif Pertamina oleh PT MJPL

Selanjutnya: Kasus Kredit Proyek Fiktif Pertamina, 8 Pegawai Bank Permata Dituntut 5 Tahun Penjara

Selanjutnya: Bank Permata (BNLI) Diminta BEI Menjelaskan Kredit Proyek Fiktif Pertamina Rp 1,2 T

Selanjutnya: Mantan Direksi Bank Permata Tersandung Kredit Proyek Fiktif Pertamina Rp 1,2 Triliun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×