Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam rangka akselerasi penyaluran kredit, pemerintah dan otoritas kini perlu mengarahkan fokusnya untuk memacu pertimbangan kredit. Pasalnya, likuiditas seharusnya sudah tidak lagi menjadi masalah bagi perbankan.
Seperti diketahui, baru-baru ini pemerintah telah menambah likuiditas bank-bank milik Danantara senilai Rp 200 triliun. Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga tetap memberikan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) yang hingga minggu pertama September 2025 mencapai Rp 384 triliun.
Efeknya, Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan, yang merupakan salah satu rasio likuiditas, telah menurun hingga 85,34% per 12 September 2025. Capaian tersebut menjadi yang paling longgar sepanjang tahun 2025 ini.
Di sisi lain, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) dan Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) yang meningkat. Pasca penempatan dana pemerintah senilai Rp 200 triliun, AL/DPK meningkat dari 24,01% menjadi 25,57% dan AL/NCD juga meningkat dari 106,92% menjadi 113,73%.
Dengan kondisi tersebut, kini permasalahan lambatnya kredit berarti berasal dari sisi permintaan. Di mana, Gubernur BI Perry Warjiyo menilai permintaan kredit belum kuat meskipun kredit sudah tumbuh 7,56% YoY per Agustus 2025 jika dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 7,03% YoY.
Baca Juga: Tak Ada Alasan Likuiditas Mahal Bagi Bank Himbara Pasca Diguyur Rp 200 Triliun
Perry bilang dari sisi permintaan, perkembangan kredit sangat dipengaruhi oleh sikap menunggu pelaku usaha, suku bunga kredit yang masih tinggi, dan lebih besarnya pemanfaatan dana internal untuk pembiayaan usahanya.
Alhasil, ia menilai hal tersebut turut mengakibatkan fasilitas pinjaman yang belum dicairkan masih cukup besar, tecermin dari rasio undisbursed loan atau kredit menganggur pada Agustus 2025 yang mencapai Rp 2.372,11 triliun atau 22,71% dari plafon kredit yang tersedia.
Perry merinci rasio kredit menganggur terbesar terutama pada sektor Industri, Pertambangan, Jasa Dunia Usaha, dan Perdagangan, dengan jenis kredit modal kerja.
Di sisi lain, Perry turut menyoroti tingginya suku bunga kredit yang juga menjadi salah satu faktor penahan peningkatan kredit atau pembiayaan lebih lanjut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
"Penurunan suku bunga kredit perbankan bahkan berjalan lebih lambat, yaitu sebesar 7 basis poin (bps) dari 9,20% pada awal 2025 menjadi sebesar 9,13% pada Agustus 2025," jelas Perry.
Oleh karenanya, Perry memandang suku bunga deposito dan kredit perbankan perlu segera turun. Harapannya, dapat meningkatkan penyaluran kredit/pembiayaan sebagai bagian upaya bersama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Perry pun kini berharap stimulus-stimulus yang sudah diberikan oleh pemerintah yaitu "Paket Stimulus 8+4+5" baru-baru ini turut bisa mendukung permintaan. Alhasil, pertumbuhan kredit tetap bisa mencapai target di kisara 8% hingga 11%.
Baca Juga: Dana Rp 200 Triliun Masuk Bank BUMN, Dorongan Kredit atau Risiko Baru?
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae bilang bahwa saat ini kondisi perekonian domestik berpengaruh pada kepercayaan diri pengusaha atau investor untuk mengembangkan bisnis mereka.
Lebih lanjut, ia bilang dengan adanya kredit menganggur tinggi sejatinya menunjukkan bahwa masih ada optimismpe pengusaha karena kredit itu sudah disepakati. Hanya saja, para pengusaha itu memiliki keputusan tersendiri kapan bakal menggunakan kredit tersebut.
Dian juga mengungkapkan saat ini masih ada beberapa sektor yang juga belum benar-benar pulih bahkan sejak covid-19. Belum lagi, perkembangan ekonomi makro yang cukup dinamis membuat beberapa sektor untuk menahan ekspansi.
Sebagai contoh, sektor industri pengolahan masih memiliki porsi tertinggi dengan mencapai 15,39% dari total kredit. Sayangnya, pertumbuhannya hanya sekitar 5,59% per Juli 2025, lebih lambat dari periode sama tahun sebelumnya yang mampu tumbuh 10,45%.
"Ketika bank menyampaikan akan ekspansi di sektor-sektor tertentu, kami selalu bertanya terkait alasannya dan menilai apakah argumen mereka kuat," ujar Dian.
Baca Juga: Ginsi Ingatkan Rp 200 Triliun ke Himbara Jangan Hanya Dinikmati Perusahaan Besar
Pakar Ekonomi sekaligus Owner PT Bejana Investidata Globalindo, Yanuar Rizky pun mengungkapkan bahwa seharusnya pemerintah memperbaiki dulu dari sisi mikro. Di mana, ia melihat bank yang kelebihan likuiditas justru akan berhati-hati mengucurkan kredit diakibatkan assesmen sektor riil nya lagi melemah.
Menurutnya, permasalahan untuk memperbaiki kondisi mikro bukanlah tugas dari perbankan. Ia bilang hal tersebut sudah seharusnya menjadi tugas pemerintah, dalam hal ini menteri maupun badan teknis.
"Perbaiki dulu mikronya, baru kita bicara dananya, jangan dibalik," ujar Yanuar.
Ia berpandangan saat ini pemerintah seolah-olah menilai semua masalah sektor riil dan daya beli selesai dengan adanya tambahan likuiditas. Sebaliknya, pemerintah justru meminta bunga komersil 4% dan bisa ambil kapan aja.
"Apa gak pusing biayai kredit cost of fundnya udah 4% dan sifat dananya tidak pakai holding period," tandasnya.
Baca Juga: Purbaya Kucurkan Dana Rp 200 Triliun, OJK Beberkan Dampaknya ke Likuiditas Perbankan
Selanjutnya: BI Pangkas Suku Bunga Acuan Jadi 4,75%, Ruang Pelonggaran Masih Terbuka
Menarik Dibaca: PSG vs Atalanta (18/9): Prediksi, Line-up, dan Ujian Juara Bertahan Liga Champions
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News