kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.909   21,00   0,13%
  • IDX 7.193   52,26   0,73%
  • KOMPAS100 1.105   10,19   0,93%
  • LQ45 877   10,63   1,23%
  • ISSI 221   0,76   0,35%
  • IDX30 448   5,44   1,23%
  • IDXHIDIV20 539   4,64   0,87%
  • IDX80 127   1,28   1,02%
  • IDXV30 134   0,28   0,21%
  • IDXQ30 149   1,42   0,96%

Bank Digital yang Hanya Mengandalkan Satu Ekosistem Berpotensi Punya Risiko Tinggi


Kamis, 04 April 2024 / 10:55 WIB
Bank Digital yang Hanya Mengandalkan Satu Ekosistem Berpotensi Punya Risiko Tinggi
ILUSTRASI. Pelayanan nasabah Bank Neo Commerce (BNC)?di Jakarta, Kamis (4/1/2024). (KONTAN/Baihaki)


Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekosistem yang kuat kerap digadang-gadang sebagai kunci bank digital mencatatkan kinerja ciamik. Berkat dukungan ekosistem, bank digital dapat tumbuh secara eksponensial dengan cara efektif. 

Namun demikian, bank digital berbasis ekosistem juga memiliki risiko yang tidak bisa dianggap enteng. Potensi risiko itu semakin besar apabila bank digital hanya mengandalkan satu ekosistem untuk menunjang kegiatan usahanya. 

Risiko yang terkonsentrasi di satu titik bisa menjadi bumerang dan karena itu regulator kerap mengingatkan untuk diversifikasi. 

Mengutip POJK Nomor 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, salah satu risiko kredit adalah risiko konsentrasi kredit. Hal itu merupakan risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada satu pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan atau geografis tertentu yang dapat mengancam kelangsungan usaha bank.

Baca Juga: Tahun Ini, AgenBRILink Ditargetkan Bisa Catatkan 1,4 Miliar Transaksi

Di Indonesia sendiri, setidaknya sudah ada sekitar 11 bank digital yang meluncur, menghadirkan model bisnis dengan minim kantor cabang dan sarat dengan penggunaan teknologi. 

Bank-bank tersebut hadir dengan menawarkan ekosistemnya masing-masing, antara lain AlloBank dengan ekosistem TransCorp, Jago dengan ekosistem GOTO, Superbank dengan Grab dan afiliasinya serta Seabank dengan ekosistem Shopee. Ada juga Bank Neo Commerce dengan ekosistem Akulaku dan Krom Bank dengan Kredivo. 

Sementara pendatang baru seperti HiBank, mengkolaborasikan kekuatan segmen ritel induknya (Bank BNI) dengan ekosistem Mayora Group, pengendali sebelumnya. Selain itu, terdapat Saqu Bank (Bank Jasa Jakarta) yang bersandar pada dukungan penuh konglomerasi Astra.  

Sebagian dari 11 bank tersebut memanfaatkan ekosistem yang bervariasi. AlloBank misalnya, turut memanfaatkan ekosistem Emtek di samping ekosistem bisnis TransCorp. Kemudian ada Jago yang tidak hanya mengandalkan ekosistem GOTO, juga melibatkan BFI Finance dan Bibit serta  Stockbit. Jago bahkan menggandeng lebih dari 15 partner untuk menopang bisnisnya.

Dengan dukungan ekosistem yang beragam, AlloBank dan Jago mampu mencetak pertumbuhan laba dengan kualitas pinjaman yang sangat baik sepanjang 2023. AlloBank mencetak laba Rp 444,56 miliar, tumbuh 65% sedangkan Jago meraup laba Rp 72 miliar, meroket 355%. 

NPL gross AlloBank dan Jago masing-masing 0,08% dan 0,8%, lebih rendah dibandingkan NPL industri perbankan yang mencapai 2,19%.

Sementara itu, Bank digital yang hanya mengandalkan satu ekosistem terpantau menghadapi periode suram pada kinerja 2023. Misalnya Bank Neo Commerce (BNC) yang membukukan rugi bersih Rp 573,1 miliar pada 2023. Persoalan yang membelit Akulaku Finance, mesin penggerak utama BNC, menjadi salah satu faktor pemberat.

Baca Juga: Ada Raksasa Keuangan Korea Selatan, di Balik Transformasi KB Bank

Contoh menarik lainnya adalah kinerja Seabank yang hanya mengandalkan ekosistem Shopee. Seabank terafiliasi dengan e-commerce Shopee dan SPaylater (PT Commerce Finance). Kemudian Sea Limited, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, juga didukung SPinjam (PT Lentera Dana Nusantara) dan ShopeePay (PT Airpay International Indonesia). 

Seabank menyalurkan pinjaman baik ke pembeli maupun ke penjual di dalam platform e-commerce melalui SPaylater dan SPinjam. SPaylater memiliki izin multifinance sedangkan SPinjam mengantongi izin sebagai P2P lending. Kerja sama Seabank dengan SPaylater dengan SPinjam tersebut diungkapkan di Laporan Tahunan 2022.     

Pada 2023, Bank milik Shopee ini membukukan laba Rp 241,47 miliar anjlok 10% dari kinerja tahun sebelumnya. 

Penurunan kinerja Seabank menarik perhatian karena pada periode tersebut perseroan mencatatkan pertumbuhan kredit 12,55% menjadi Rp 17,88 triliun. Efek dari kenaikan kredit ini, Seabank meraih pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) Rp 5,78 triliun alias melonjak 53%. 

Salah satu penyebab turunnya laba ada di pos beban impairment yang mencapai Rp 4,45 triliun alias melonjak 60,6% dari posisi sebelumnya Rp 2,27 triliun. Kenaikan beban impairment ini terkait erat dengan kualitas kredit. 

Beban impairment yang tinggi secara langsung akan menggerus pendapatan bunga bersih dan pada akhirnya berdampak pada perolehan laba bersih. Bank sebenarnya punya opsi untuk mengatasi masalah ini yakni dengan menggenjot kredit lebih agresif lagi, mengerek suku bunga kredit dan meningkatkan kualitas pinjaman.  

Ke depan, Seabank tampaknya akan mengikuti arahan induknya di mana bisnis jasa keuangan Sea Limited akan fokus pada akuisisi nasabah. 

Dalam keterangan resmi Sea Limited, perusahaan berbasis di Singapura ini akan menambah jumlah nasabah baik di dalam maupun di luar platform Shopee. Seiring dengan peningkatan skala, Sea Limited juga menyatakan akan tetap berhati-hati dalam manajemen risiko.

Berburu nasabah di luar ekosistem sendiri tampaknya juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi bisnis fintech lending menghadapi tantangan berat dari sisi regulasi, termasuk isu perlindungan konsumen. 

Secara khusus OJK telah menerbitkan POJK 77 Tahun 2022 dan Surat Edaran No. 19/SEOJK.06/2023 yang mengatur Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi lebih ketat. Pengaturan itu antara lain pembatasan jumlah pinjaman, bunga atau margin hasil, dan mekanisme penagihan.

Di sisi lain, model bisnis fintech juga belum dibarengi praktik perlindungan konsumen yang memadai. OJK mencatat, dalam per Februari 2024 jumlah pengaduan konsumen dari sektor fintech mencapai 7.183 atau 26% terhadap total pengaduan sebanyak 27.283.

Secara khusus, OJK tengah menelisik pengaduan layanan Spaylater di mana tahun lalu mencapai 406 pengaduan. Jumlah pengaduan tersebut setara 7,15% dari total pengaduan di sektor fintech.

Sebagian besar pengaduan berupa cara penagihan yang tidak patut seperti penggunaan kata kasar, tidak sopan, dan intimidasi terhadap konsumen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×